(Sebuah catatan awal menelusuri subaltern history)
Oleh : Abdullah Naim
Hujan rintik-rintik menyambut saya di saat memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, pada awal Agustus 2008. Di dekat pintu gerbang desa itu ada papan plang yang bertuliskan “PT. Alfara Delta Persada, pertambangan batubara luas 2.089 Hektar”. Mungkin pesan tulisan ini juga bermaksud agar berhati-hati memasuki kawasan pertambangan yang masih dalam wilayah desa Kutai Lama.
Menuju desa Kutai Lama melalui jalan darat dan melintasi Sambutan dari arah Kota Samarinda Ke Timur dapat ditempuh 45 menit kendaraan sepeda motor. Saya menikmati perjalanan ke Kutai Lama kali ini. Betapa tidak, sebelum mencapai Anggana terhampar di sisi kiri dan kanan jalan panorama sawah yang sedang menebar pesonanya, karena ia tumbuh subur setinggi dua jengkal orang dewasa. Apalagi barisan Dewi Sri itu diterpa angin sepoi sehingga ia seolah penyanyi dangdut yang baru memulai goyangannya. Bagi orang yang memperhatikannya bisa dibuat tersenyum sambil menggit bibir dan mulai mengikuti alunannya.
Sebelum naik kapal peyeberangan Sungai Kutai Lama dalam, saya menyempatkan diri memandangi sejenak arsitektur klasik bergaya Belanda yang lapuk dan ditelantarkan begitu saja di dekat Kawasan Medco, perusahaan gas alam. Hati saya berdetak berkata, betapa kuat penetrasi kolonial yang masih berlanjut hingga hari ini. Walau bangunannya lapuk namun watak koloninya masih terus berjalan tanpa henti.
Betul saja dugaan saya. Selepas dari pintu gerbang desa, saya menyaksikan kawanan pengangkut batubara melintasi dan memotong jalan desa yang telanjang tak beraspal menuju tempat pengapalan. Perusahaan Alfara Delta Persada ibarat penyambut tamu bagi siapa saja yang berkunjung ke desa Kutai Lama. Tidak jauh dari lintasan perusahaan Batubara pertama, berturut-turut ada kawanan perusahaan batubara yang ditandai dengan pos keamanan Perusahaan Sinar Kumala Naga (SKN) dan Kartanegara Perkasa sambil seorang dari securiti mengacung-acungkan bendera merahnya untuk mengatur di jalur lintas pengankut batubara. Menurut orang-orang kampung, Konon perusahaan batubara yang ada di desa Kutai Lama adalah milik keluarga Syaukani HR mantan Bupati Kutai Kartenagara yang saat ini sedang dalam tahanan sebab tersandung kasus korupsi.
Pesona Sejarah Kutai yang multitafsir
Kutai Lama memainkan peran penting dalam sejarah, karena ia selalu disebut-sebut sebagai pusat awal kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara dengan raja pertama bergelar Batara Agung Dewa Sakti yang turun dari langit dengan permaisuri Puteri Karang Melenu yang konon datang dari buih Sungai Mahakam. Selain itu, Kutai Lama disebut-sebut sebagai perjumpaan awal kedatangan Islam yang dibawah oleh Tunggang Parangan dan Ribandang.
Saat ini, Kutai masih menjadi klaim tersendiri bagi masing-masing komunitas di dua kampung antara Muara Kaman dan Kutai Lama. Bagi Komunitas Muara Kaman, Kutai sesungguhnya diawali dari Muara Kaman. “Kutai Tenggarong itu sebenarnya adalah buatan Belanda,” ujar Asminan salah seorang penduduk Muara Kaman yang rajin mengumpulkan peninggalan purbakala.
Hal yang sama juga saya temukan penguakuan sebagian masyarakat di Kutai Lama yang meyakini bahwa asal muasal ke-Kutai-an berawal dari Kutai Lama. “Kutai itu menurut orang tua kampung disini ya ini sudah (Kutai Lama) bukan Muara Kaman” kata pak Haji Azis sambil ia menjelaskan keberadaan makam raja Aji Mahkota dan raja Aji Dilangga. Riwayat asal mula nama Kutai ini juga datang dari Muis salah satu tetuah kampung di Kutai Lama yang menyebut bahwa konon, suatu saat ketika hendak memberi nama kampung Kutai ini, seorang warga yang diberi tugas dengan mengelilingi kampung ditemani sebuah sumpit. Tiba-tiba orang itu melihat tupai di atas pohon petai lalui menyumpitnya. Setelah tupai itu terjatuh ia kemudian berpantun ”Tupai di pohon petai jatoh ke kumpai”. Dari pantun itulah muncul nama Kutai. Riwayat ini sebetulnya ingin menjelaskan bahwa awal ditemukannya nama Kutai ada di Kutai Lama.
Jika di Kutai Lama banyak disebut-sebut sebagai tempat awal kedatangan Islam yang ditandai dengan Makam Tunggang Parangan sebagai pembawa misi Islam (Islamisasi), maka di Muara Kaman juga terdapat sebuah Makam yang dikenal di masyarakat setempat sebagai Syekh Al-Magribi yang mereka yakini sebagai pembawa Islam pertama kali di Kalimantan Timur. Sayangnya di Makam Syekh Al-Magribi, saya hanya bisa membaca tulisan Arab “Sallallahu alaihi wasallam” di nisan kayu setinggi 60 cm itu. Selebihnya, tulisan pahat itu terabaikan karena mungkin pengetahuan membaca saya hanya bisa Arab Quraisy dan juga karena tulisannya kabur termakan zaman.
Tetapi yang menarik adalah di desa Kutai Lama, ada perbincangan tentang tafsir masa silam. Sebagaian mereka memaknai bahwa masa silam yang banyak dibicarakan itu disayangkan karena bukti-bukti peninggalan sejarahnya tidak ditemukan. Bukti yang ada hanya makam Tunggang Parangan dengan dua raja yang berhasil di Islamkannya, raja Aji Mahkota dan raja Aji Dilangga yang di kunjungi oleh ribuan peziarah setiap bulannya. “Sejarah disini tidak jelas karena bukti-bukti peninggalannya tidak ditemukan”, kata Syahrul salah seorang penduduk Kutai Lama. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa menurut tetua kampung Kutai Lama, apa yang disebut negeri Jahitan Layar yang disebut-sebut sebagai pusat kekuasaan, sama sekali tidak ada jejak peninggalan yang bisa membuktikan sebagai kerajaan. Konon kerajaan ini disembunyikan dengan maksud tertentu untuk menghindari serangan musuh. “Boleh juga area kerajaan ini tertimbun dan ditutupi oleh pasir karena bencana alam,” lanjut Syahrul berusaha meyakinkan.
Untuk melihat lebih dekat bagaimana kondisi Jahitan Layar yang selalu disebut-sebut dalam sejarah mainstream itu, saya mengajak Syahrul dan sahabat – sahabat PMII Cabang Metro Kutai Kartanegara ke lokasi yang diyakini sebagai Jahitan Layar. Ternyata wilayah itu adalah kawasan perbukitan pasir seluas 4 kali lapangan sepak bola yang sebagiannya gundul dan sebagian lainnya ditumbuhi pohon-pohon kecil setinggi 4-5 meter. Saat ini masyarakat setempat ada yang mencoba menanam karet di areal tersebut. Di Jahitan Layar yang terletak 700 meter dari perkampungan Kutai Lama, saya hanya menemukan fosil kayu yang sudah membatu berdiameter 40 cm dan panjang 8 meter. Sementara di depan bukit pasir itu terdapat tulisan di papan kecil seperti nama jalan. “Butuh pasir silahkan hubungi 0852..”. Ya kawasan itu adalah tempat penambangan pasir yang biasa digunakan oleh penduduk desa.
Sejarah Gelap VS Sejarah Terang, Benarkah?
Sepulang dari bukit Jahitan Layar saya bertanya dalam hati. Apa sesungguhnya yang disebut sebagai “sejarah jelas”?. Apa itu tirai kegelapan?. Apakah sejarah selalu harus “jelas”?. Apakah salah jika sejarah itu kadang-kadang jelas kadang-kadang gelap?. Atau apakah tidak boleh andaikata saya menafsirkan dalam sejarah gelap ada terang dan dalam sejarah yang disebut sejarah terang ada gelap?.
Bagi Syahrul, jika ini pusat kerajaan maka mestinya ada yang membuktikannya. Begitu juga makam raja-raja sebelum raja Aji Mahkota yang tidak ditemukan rimbahnya. Pandangan lain juga datang dari Pikal salah seorang penduduk setempat yang menganggap bahwa masa silam Kutai Lama tidak peduli apakah jelas atau tidak, itu juga terbukti dengan sikapnya yang acuh tak acuh dengan masa lalu di Kutai Lama. Meski demikian Pikal sendiri masih menjalani ritus ziarah makam ke para aulia yang mereka sebut makam keramat. Lain lagi dengan pandangan Iwan yang memadukan antara sejarah tulis dan sejarah yang turun-temurun (tutur). “ Saya disamping membaca buku sejarah Kutai yang ditulis oleh para sejarawan, saya juga mempercayai dan mendengar cerita-cerita dari orang tua kampung di sini,” kata Iwan yang juga pemegan kunci Makam raja Aji Dilangga.
Boleh jadi pandangan Syahrul ini berkaitan dengan soal banyaknya penulis “sejarah Kutai” yang menyebut-nyebut tentang masa gelap. Salah satunya Adib MA yang juga dosen STAIN Samarinda ini misalnya menulis artikel sejarah Kutai di salah satu situs yang menganggap perlunya merekonstruksi sejarah Kutai karena adanya tabir kegelapan. Menurutnya analisis artefak belum dapat mengungkap tabir kegelapan itu. Sayang, Adib tidak menyebut mengapa harus ada rekonstrusi? Untuk apa?. Apa keuntungan komunitasnya. Malahan ia hanya menyebut rekonstruksi untuk kepentingan melestarikan aspek sejarah dan budaya kesultanan Melayu di wilayah Nusantara. Saya khawatir rekonstruksi sejarah semacam itu hanya untuk diinvensi dan dikomodifikasi untuk kepentingan kekuasaan. Terbukti ritus Erau yang belakangan terlaksana sudah dikomodifikasi yang konon tidak lagi “menguntungkan” pemeluknya.
Saya kira ada juga baiknya untuk merenungkan pendapat Edwar Said tentang cara kerja sejarah. Menurutnya cara melihat masa silam menentukan cara kita memperlakukan masa kini dan yang akan datang. Justru disinilah persoalannya, kita dapat menyaksikan dewasa ini bagaimana cara pemerintah dalam memperlakukan apa yang disebut “masa kini” yang selalu ingin membuat pariwisata budaya, dan sejarah dalam bentuk seperti Pulau Kumala yang dibanguni Lamin dan patung lembuswana ditambah dengan agenda lomba tari-tarian yang sama sekali sudah tidak lagi “dibutuhkan” oleh pemeluknya. Kecuali mungkin hanya untuk foto-foto.
Bukankah perlakuan semacam itu karena “kekeliruan” dalam memandang “masa lalu”. Bagi saya, sejarah bukanlah “barang baku” ia adalah teks masa silam yang senatiasa berubah-ubah tergantung bagaimana cara melihatnya. Melestarikan aspek sejarah dan budaya bisa terjebak pada romantisme masa silam yang hanya memandang masyarakatnya seperti museum. Padahal masyarakat yang punya tafsir sejarah selalu dinamis yang dengan sendirinya berdialektika terus-menurus dengan zamannya. Masyarakat juga berubah-ubah termasuk dalam membaca masa silamnya.
Pada persoalan ini saya bukan mau mengatakan bahwa menyingkap tabir sejarah itu tidak penting. Tetapi mengkategorisasi sejarah gelap dan terang secara sederhana, itu yang tidak penting bagi saya. Menurut saya, kalau dianggap ada tabir kegelapan dalam sejarah Kutai maka mengapa tidak ditulis saja proses menjadi gelapnya sejarah Kutai itu?. Bahkan yang seringkali terabaikan dalam studi sejarah adalah bahwa kekuasaan senantiasa mengkonstruksi model sejarah yang akhirnya menjadi penyokong kekuasaan. Nah, disinilah persoalan kita saat ini mengenai “sejarah Kutai”. Karena ternyata sejarah Kutai masih didominasi sejarah kekuasaan dan penaklukan. Sementara sejarah subaltern, tidak mendapat tempat. Bahkan sejarah yang tersimpan dalam ingatan orang-orang kecil dianggap bukan sejarah.
Terlepas dari persoalan itu, saya mencoba menelusuri jejak yang tersimpan dalam kepala (ingatan) masyarakat Kutai Lama. Saya kemudian mulai melacak dari riwayat desa Kutai Lama.
Dalam pengetahuan Muis yang sekarang pemegang kunci makam raja Mahkota bahwa diyakini ada suatu masa setelah zaman para raja Kutai berkuasa di Jahitan Layar (Kutai Lama) pindah ke Jembayan dan Tenggarong, Kutai Lama ini sudah tidak lagi berpenghuni. Itu dibuktikan dengan pengakuan Muis bahwa yang membuka pertama hutan rimba di Kutai Lama ini ada 4 orang. Mereka berasal dari Sungai Meriam yang meminta izin kepada Sultan Kutai di Tenggarong untuk membuka lahan perkebunan di Kutai Lama yang dulu disebut Jahitan Layar atau Tepian Batu.
Berbekal izin dari Sultan Muhammad Parikesit, H. Japri, Arsa Jaya, Paman Tungku dan seorang lagi tidak diingat namanya, mengelola Kutai Lama ini untuk kepentingan perkebunan dan pemukiman. Lambat laun setelah empat orang ini membuka lahan di Kutai Lama ini secara berangsur-angsur banyak masyarakat datang untuk bermukim di Kutai Lama yang saat ini dihuni oleh campuran Bugis dan Koetai. “Setelah ditinggal para raja, kampung ini berubah menjadi hutan. Makanya orang takut membuka kampung ini, selain pohonnya besar-besar juga tempat ini (Kutai Lama) dianggap keramat dan penuh misteri. Nah kakek sayalah yang memulai membuka kembali,” kata Muis Yang juga penjaga makam Raja Aji Mahkota dan Raja Aji Dilangga.
Sebelum saya ke Kutai Lama, saya memulai membuka-buka sejarah tulis Kutai. Ternyata dari dokumen-dokumen sejarah itu hanya membincang sejarah tahun (waktu sekuler) berikut aktor-aktornya. Saya tidak menemukan bagaimana setting sosial dan laku budaya lokal (perjumpaan kebudayaan) ketika raja membangun tahta kerajaan Kutai Kertanegara. Begitupula sejarah di saat Tunggang Parangan datang untuk mengislamkan raja Mahkota yang hanya memuat adu kesaktian dua pembesar itu yang selalu dimenangkan oleh Tunggang Parangan.
Untuk sementara abaikan saja dulu perbincangan soal masa silam yang “kusut” tak karuan itu (kompleksitas). Yang pasti masyarakat Kutai Lama yang mayoritas bekerja di tambak muara Mahakam ini tengah menggelisahkan tentang mata air dibalik bukit Jahitan Layar. “Saya menghawatirkan mata air yang sudah menghidupi dan mengaliri sekitar 700-an rumah di Kutai Lama selama bertahun-tahun akan mati seperti di wilayah lain, gara-gara aktifitas pertambangan. Memang saat ini belum terasa dampaknya, tapi ke depan kalau terus-terus digali dan dikerumuni kampung ini oleh perusahaan batubara lama-lama bencana akan datang juga,” tutur Syahril yang dibenarkan oleh Pikal yang juga generasi muda Kutai Lama.
Kutai Lama di samping memendam sejarah masa silam yang penuh dengan pesona, ternyata juga tersimpan dalam perut buminya batubara dan gas alam yang menggiurkan bagi pemburu fosil yang tak terbarukan ini. Apakah Kutai Lama masih akan lama melanjutkan riwayat kehidupanya? Kita tunggu saja cerita berikutnya.
Oleh : Abdullah Naim
Hujan rintik-rintik menyambut saya di saat memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, pada awal Agustus 2008. Di dekat pintu gerbang desa itu ada papan plang yang bertuliskan “PT. Alfara Delta Persada, pertambangan batubara luas 2.089 Hektar”. Mungkin pesan tulisan ini juga bermaksud agar berhati-hati memasuki kawasan pertambangan yang masih dalam wilayah desa Kutai Lama.
Menuju desa Kutai Lama melalui jalan darat dan melintasi Sambutan dari arah Kota Samarinda Ke Timur dapat ditempuh 45 menit kendaraan sepeda motor. Saya menikmati perjalanan ke Kutai Lama kali ini. Betapa tidak, sebelum mencapai Anggana terhampar di sisi kiri dan kanan jalan panorama sawah yang sedang menebar pesonanya, karena ia tumbuh subur setinggi dua jengkal orang dewasa. Apalagi barisan Dewi Sri itu diterpa angin sepoi sehingga ia seolah penyanyi dangdut yang baru memulai goyangannya. Bagi orang yang memperhatikannya bisa dibuat tersenyum sambil menggit bibir dan mulai mengikuti alunannya.
Sebelum naik kapal peyeberangan Sungai Kutai Lama dalam, saya menyempatkan diri memandangi sejenak arsitektur klasik bergaya Belanda yang lapuk dan ditelantarkan begitu saja di dekat Kawasan Medco, perusahaan gas alam. Hati saya berdetak berkata, betapa kuat penetrasi kolonial yang masih berlanjut hingga hari ini. Walau bangunannya lapuk namun watak koloninya masih terus berjalan tanpa henti.
Betul saja dugaan saya. Selepas dari pintu gerbang desa, saya menyaksikan kawanan pengangkut batubara melintasi dan memotong jalan desa yang telanjang tak beraspal menuju tempat pengapalan. Perusahaan Alfara Delta Persada ibarat penyambut tamu bagi siapa saja yang berkunjung ke desa Kutai Lama. Tidak jauh dari lintasan perusahaan Batubara pertama, berturut-turut ada kawanan perusahaan batubara yang ditandai dengan pos keamanan Perusahaan Sinar Kumala Naga (SKN) dan Kartanegara Perkasa sambil seorang dari securiti mengacung-acungkan bendera merahnya untuk mengatur di jalur lintas pengankut batubara. Menurut orang-orang kampung, Konon perusahaan batubara yang ada di desa Kutai Lama adalah milik keluarga Syaukani HR mantan Bupati Kutai Kartenagara yang saat ini sedang dalam tahanan sebab tersandung kasus korupsi.
Pesona Sejarah Kutai yang multitafsir
Kutai Lama memainkan peran penting dalam sejarah, karena ia selalu disebut-sebut sebagai pusat awal kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara dengan raja pertama bergelar Batara Agung Dewa Sakti yang turun dari langit dengan permaisuri Puteri Karang Melenu yang konon datang dari buih Sungai Mahakam. Selain itu, Kutai Lama disebut-sebut sebagai perjumpaan awal kedatangan Islam yang dibawah oleh Tunggang Parangan dan Ribandang.
Saat ini, Kutai masih menjadi klaim tersendiri bagi masing-masing komunitas di dua kampung antara Muara Kaman dan Kutai Lama. Bagi Komunitas Muara Kaman, Kutai sesungguhnya diawali dari Muara Kaman. “Kutai Tenggarong itu sebenarnya adalah buatan Belanda,” ujar Asminan salah seorang penduduk Muara Kaman yang rajin mengumpulkan peninggalan purbakala.
Hal yang sama juga saya temukan penguakuan sebagian masyarakat di Kutai Lama yang meyakini bahwa asal muasal ke-Kutai-an berawal dari Kutai Lama. “Kutai itu menurut orang tua kampung disini ya ini sudah (Kutai Lama) bukan Muara Kaman” kata pak Haji Azis sambil ia menjelaskan keberadaan makam raja Aji Mahkota dan raja Aji Dilangga. Riwayat asal mula nama Kutai ini juga datang dari Muis salah satu tetuah kampung di Kutai Lama yang menyebut bahwa konon, suatu saat ketika hendak memberi nama kampung Kutai ini, seorang warga yang diberi tugas dengan mengelilingi kampung ditemani sebuah sumpit. Tiba-tiba orang itu melihat tupai di atas pohon petai lalui menyumpitnya. Setelah tupai itu terjatuh ia kemudian berpantun ”Tupai di pohon petai jatoh ke kumpai”. Dari pantun itulah muncul nama Kutai. Riwayat ini sebetulnya ingin menjelaskan bahwa awal ditemukannya nama Kutai ada di Kutai Lama.
Jika di Kutai Lama banyak disebut-sebut sebagai tempat awal kedatangan Islam yang ditandai dengan Makam Tunggang Parangan sebagai pembawa misi Islam (Islamisasi), maka di Muara Kaman juga terdapat sebuah Makam yang dikenal di masyarakat setempat sebagai Syekh Al-Magribi yang mereka yakini sebagai pembawa Islam pertama kali di Kalimantan Timur. Sayangnya di Makam Syekh Al-Magribi, saya hanya bisa membaca tulisan Arab “Sallallahu alaihi wasallam” di nisan kayu setinggi 60 cm itu. Selebihnya, tulisan pahat itu terabaikan karena mungkin pengetahuan membaca saya hanya bisa Arab Quraisy dan juga karena tulisannya kabur termakan zaman.
Tetapi yang menarik adalah di desa Kutai Lama, ada perbincangan tentang tafsir masa silam. Sebagaian mereka memaknai bahwa masa silam yang banyak dibicarakan itu disayangkan karena bukti-bukti peninggalan sejarahnya tidak ditemukan. Bukti yang ada hanya makam Tunggang Parangan dengan dua raja yang berhasil di Islamkannya, raja Aji Mahkota dan raja Aji Dilangga yang di kunjungi oleh ribuan peziarah setiap bulannya. “Sejarah disini tidak jelas karena bukti-bukti peninggalannya tidak ditemukan”, kata Syahrul salah seorang penduduk Kutai Lama. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa menurut tetua kampung Kutai Lama, apa yang disebut negeri Jahitan Layar yang disebut-sebut sebagai pusat kekuasaan, sama sekali tidak ada jejak peninggalan yang bisa membuktikan sebagai kerajaan. Konon kerajaan ini disembunyikan dengan maksud tertentu untuk menghindari serangan musuh. “Boleh juga area kerajaan ini tertimbun dan ditutupi oleh pasir karena bencana alam,” lanjut Syahrul berusaha meyakinkan.
Untuk melihat lebih dekat bagaimana kondisi Jahitan Layar yang selalu disebut-sebut dalam sejarah mainstream itu, saya mengajak Syahrul dan sahabat – sahabat PMII Cabang Metro Kutai Kartanegara ke lokasi yang diyakini sebagai Jahitan Layar. Ternyata wilayah itu adalah kawasan perbukitan pasir seluas 4 kali lapangan sepak bola yang sebagiannya gundul dan sebagian lainnya ditumbuhi pohon-pohon kecil setinggi 4-5 meter. Saat ini masyarakat setempat ada yang mencoba menanam karet di areal tersebut. Di Jahitan Layar yang terletak 700 meter dari perkampungan Kutai Lama, saya hanya menemukan fosil kayu yang sudah membatu berdiameter 40 cm dan panjang 8 meter. Sementara di depan bukit pasir itu terdapat tulisan di papan kecil seperti nama jalan. “Butuh pasir silahkan hubungi 0852..”. Ya kawasan itu adalah tempat penambangan pasir yang biasa digunakan oleh penduduk desa.
Sejarah Gelap VS Sejarah Terang, Benarkah?
Sepulang dari bukit Jahitan Layar saya bertanya dalam hati. Apa sesungguhnya yang disebut sebagai “sejarah jelas”?. Apa itu tirai kegelapan?. Apakah sejarah selalu harus “jelas”?. Apakah salah jika sejarah itu kadang-kadang jelas kadang-kadang gelap?. Atau apakah tidak boleh andaikata saya menafsirkan dalam sejarah gelap ada terang dan dalam sejarah yang disebut sejarah terang ada gelap?.
Bagi Syahrul, jika ini pusat kerajaan maka mestinya ada yang membuktikannya. Begitu juga makam raja-raja sebelum raja Aji Mahkota yang tidak ditemukan rimbahnya. Pandangan lain juga datang dari Pikal salah seorang penduduk setempat yang menganggap bahwa masa silam Kutai Lama tidak peduli apakah jelas atau tidak, itu juga terbukti dengan sikapnya yang acuh tak acuh dengan masa lalu di Kutai Lama. Meski demikian Pikal sendiri masih menjalani ritus ziarah makam ke para aulia yang mereka sebut makam keramat. Lain lagi dengan pandangan Iwan yang memadukan antara sejarah tulis dan sejarah yang turun-temurun (tutur). “ Saya disamping membaca buku sejarah Kutai yang ditulis oleh para sejarawan, saya juga mempercayai dan mendengar cerita-cerita dari orang tua kampung di sini,” kata Iwan yang juga pemegan kunci Makam raja Aji Dilangga.
Boleh jadi pandangan Syahrul ini berkaitan dengan soal banyaknya penulis “sejarah Kutai” yang menyebut-nyebut tentang masa gelap. Salah satunya Adib MA yang juga dosen STAIN Samarinda ini misalnya menulis artikel sejarah Kutai di salah satu situs yang menganggap perlunya merekonstruksi sejarah Kutai karena adanya tabir kegelapan. Menurutnya analisis artefak belum dapat mengungkap tabir kegelapan itu. Sayang, Adib tidak menyebut mengapa harus ada rekonstrusi? Untuk apa?. Apa keuntungan komunitasnya. Malahan ia hanya menyebut rekonstruksi untuk kepentingan melestarikan aspek sejarah dan budaya kesultanan Melayu di wilayah Nusantara. Saya khawatir rekonstruksi sejarah semacam itu hanya untuk diinvensi dan dikomodifikasi untuk kepentingan kekuasaan. Terbukti ritus Erau yang belakangan terlaksana sudah dikomodifikasi yang konon tidak lagi “menguntungkan” pemeluknya.
Saya kira ada juga baiknya untuk merenungkan pendapat Edwar Said tentang cara kerja sejarah. Menurutnya cara melihat masa silam menentukan cara kita memperlakukan masa kini dan yang akan datang. Justru disinilah persoalannya, kita dapat menyaksikan dewasa ini bagaimana cara pemerintah dalam memperlakukan apa yang disebut “masa kini” yang selalu ingin membuat pariwisata budaya, dan sejarah dalam bentuk seperti Pulau Kumala yang dibanguni Lamin dan patung lembuswana ditambah dengan agenda lomba tari-tarian yang sama sekali sudah tidak lagi “dibutuhkan” oleh pemeluknya. Kecuali mungkin hanya untuk foto-foto.
Bukankah perlakuan semacam itu karena “kekeliruan” dalam memandang “masa lalu”. Bagi saya, sejarah bukanlah “barang baku” ia adalah teks masa silam yang senatiasa berubah-ubah tergantung bagaimana cara melihatnya. Melestarikan aspek sejarah dan budaya bisa terjebak pada romantisme masa silam yang hanya memandang masyarakatnya seperti museum. Padahal masyarakat yang punya tafsir sejarah selalu dinamis yang dengan sendirinya berdialektika terus-menurus dengan zamannya. Masyarakat juga berubah-ubah termasuk dalam membaca masa silamnya.
Pada persoalan ini saya bukan mau mengatakan bahwa menyingkap tabir sejarah itu tidak penting. Tetapi mengkategorisasi sejarah gelap dan terang secara sederhana, itu yang tidak penting bagi saya. Menurut saya, kalau dianggap ada tabir kegelapan dalam sejarah Kutai maka mengapa tidak ditulis saja proses menjadi gelapnya sejarah Kutai itu?. Bahkan yang seringkali terabaikan dalam studi sejarah adalah bahwa kekuasaan senantiasa mengkonstruksi model sejarah yang akhirnya menjadi penyokong kekuasaan. Nah, disinilah persoalan kita saat ini mengenai “sejarah Kutai”. Karena ternyata sejarah Kutai masih didominasi sejarah kekuasaan dan penaklukan. Sementara sejarah subaltern, tidak mendapat tempat. Bahkan sejarah yang tersimpan dalam ingatan orang-orang kecil dianggap bukan sejarah.
Terlepas dari persoalan itu, saya mencoba menelusuri jejak yang tersimpan dalam kepala (ingatan) masyarakat Kutai Lama. Saya kemudian mulai melacak dari riwayat desa Kutai Lama.
Dalam pengetahuan Muis yang sekarang pemegang kunci makam raja Mahkota bahwa diyakini ada suatu masa setelah zaman para raja Kutai berkuasa di Jahitan Layar (Kutai Lama) pindah ke Jembayan dan Tenggarong, Kutai Lama ini sudah tidak lagi berpenghuni. Itu dibuktikan dengan pengakuan Muis bahwa yang membuka pertama hutan rimba di Kutai Lama ini ada 4 orang. Mereka berasal dari Sungai Meriam yang meminta izin kepada Sultan Kutai di Tenggarong untuk membuka lahan perkebunan di Kutai Lama yang dulu disebut Jahitan Layar atau Tepian Batu.
Berbekal izin dari Sultan Muhammad Parikesit, H. Japri, Arsa Jaya, Paman Tungku dan seorang lagi tidak diingat namanya, mengelola Kutai Lama ini untuk kepentingan perkebunan dan pemukiman. Lambat laun setelah empat orang ini membuka lahan di Kutai Lama ini secara berangsur-angsur banyak masyarakat datang untuk bermukim di Kutai Lama yang saat ini dihuni oleh campuran Bugis dan Koetai. “Setelah ditinggal para raja, kampung ini berubah menjadi hutan. Makanya orang takut membuka kampung ini, selain pohonnya besar-besar juga tempat ini (Kutai Lama) dianggap keramat dan penuh misteri. Nah kakek sayalah yang memulai membuka kembali,” kata Muis Yang juga penjaga makam Raja Aji Mahkota dan Raja Aji Dilangga.
Sebelum saya ke Kutai Lama, saya memulai membuka-buka sejarah tulis Kutai. Ternyata dari dokumen-dokumen sejarah itu hanya membincang sejarah tahun (waktu sekuler) berikut aktor-aktornya. Saya tidak menemukan bagaimana setting sosial dan laku budaya lokal (perjumpaan kebudayaan) ketika raja membangun tahta kerajaan Kutai Kertanegara. Begitupula sejarah di saat Tunggang Parangan datang untuk mengislamkan raja Mahkota yang hanya memuat adu kesaktian dua pembesar itu yang selalu dimenangkan oleh Tunggang Parangan.
Untuk sementara abaikan saja dulu perbincangan soal masa silam yang “kusut” tak karuan itu (kompleksitas). Yang pasti masyarakat Kutai Lama yang mayoritas bekerja di tambak muara Mahakam ini tengah menggelisahkan tentang mata air dibalik bukit Jahitan Layar. “Saya menghawatirkan mata air yang sudah menghidupi dan mengaliri sekitar 700-an rumah di Kutai Lama selama bertahun-tahun akan mati seperti di wilayah lain, gara-gara aktifitas pertambangan. Memang saat ini belum terasa dampaknya, tapi ke depan kalau terus-terus digali dan dikerumuni kampung ini oleh perusahaan batubara lama-lama bencana akan datang juga,” tutur Syahril yang dibenarkan oleh Pikal yang juga generasi muda Kutai Lama.
Kutai Lama di samping memendam sejarah masa silam yang penuh dengan pesona, ternyata juga tersimpan dalam perut buminya batubara dan gas alam yang menggiurkan bagi pemburu fosil yang tak terbarukan ini. Apakah Kutai Lama masih akan lama melanjutkan riwayat kehidupanya? Kita tunggu saja cerita berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tulis pesan anda di sini