Sabtu, 19 Juli 2008

TILASAN NENEK MOYANG SEBAGAI NUSANTARA (BUKAN JAWA, DAYAK, BUGIS, BATAK, AMBON ATAU SUKU-SUKU LAINNYA)

Oleh : Sujatmiko
PMII Metro Kukar

Bangsa Saudagar
Sebelum misi-misi kolonialisme barat masuk bumi Nusantara, konon nenek moyang kita adalah bangsa yang kuat dan tangguh dalam pelayaran. Entah itu cerita belaka atau hanya sekedar dongeng yang dilantunkan sebelum anak-anak mereka tidur. Kebenaran mutlak tidak bisa kita jumpai dengan cara apapun. Meskipun begitu masyarakat modern mempercayai, dengan riset para ilmuan dari berbagai negara, bahwa penemuan-penemuan ciri fisik yang didapat dari alam membenarkan bahwa Nusantara ini pernah berjaya dan disegani negeri-negeri barat. Keterampilan dan keramahannya itu memudahkan berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat negeri lain. Sehingga dimanapun mereka merantau selalu diterima dengan baik oleh penduduk setempat. Kepawaian dalam berdagang menjadi modal dasar bagi mereka sehingga dalam berinteraksi dan bernegosiasi tidak diremehkan. Tanah kita yang subur dimanfaatkannya secara alami, kemudian hasil panennya dibawa ke negeri-negeri seberang. Kedatangan mereka itu dinanti-nanti oleh penduduk-penduduk negeri seberang karena mereka tidak mempunyai tanah yang dapat ditanami seperti tanah kita. Sampai-sampai ada ungkapan “biji dari sisa kotoran burungpun bisa tumbuh dan berbuah di bumi nusantara”, bagaimana tidak gemah ripah loh jinawi bumi kita ini. Biji-bijian yang belum disterilkanpun bisa tumbuh subur. Hasil panen yang kita miliki itu menjadi sesuatu yang langka untuk masyarakat negeri seberang. Mereka juga berani membeli dengan mahal. Dari perdagangan inilah Nusantara mulai dikenal mancanegara dan para saudagar asing berbondong-bondong datang. Seiring dengan arus diplomasi perdagangan, disadari atau tidak mereka sudah saling memperkenalkan budaya masing-masing yang melahirkan akulturasi budaya. Sehingga beraneka budaya baru muncul ditengah-tengah pergulatan masyarakat yang tanpa menghilangkan nilai budaya asli masing-masing. Persilangan budaya antar enis dan bangsa itu masih berlangsung terus menerus samapai hari ini. Dan konteks budaya dalam hal ini bukan hanya pada tataran seni atau makna kata budaya pada salah satu departemen pemerintahan Indonesia tapi diartikan sebagai pengejawantahan seluruh aspek kehidupan seperti tata cara berperilaku, bentuk keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, dan semua hasil kegiatan-kegiatan manusia yang khas untuk suku bangsa atau masyarakat tertentu. Seperti apa yang dikatakan oleh Ralph Linton, seorang pakar Anthropology, “Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”.

Perspektif Ethnography dan Antropologi Pada Kerangka Etnisitas
Naluri manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, memaksa mereka meninggalkan kampung halaman. Begitu juga penjelajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Sebelum abad 18 mereka sudah mulai menjelajah kepelosok dunia. Dari pelayaran dan perjalanan itu didapat pengalaman dalam perjumpaan dan pergulan dengan suku-suku bangsa lain. Yang menarik lagi, bangsa-bangsa Eropa itu selalu mencatat baik kondisi alam maupun karakter masyarakat di daerah-daerah yang mereka kunjungi. Kemudian muncullah Anthropology, yang dipelopori oleh penjelajah-penjelajah dari Eropa itu seperti Ibnu Batutah, Vasco de Gama dan Alfonso d’abulquerque. Mereka sangat gemar berlayar dan mempelajari pola hidup masyarakat yang mereka jumpai. Karena banyaknya catatan empirik dari perjumpaan-perjumpaan dengan bangsa lain, mereka mengeluarkan gagasan baru yang disebut ancient imperialism (imperalisme kuno). Dalam gagasannya ini ada tiga misi besar yang menggambarkan tujuan mereka menjelajah dunia yaitu gospel (penyebaran agama nasrani), gold (mencari kekayaan) dan glory (mencari kejayaan). Misi ini dikerjakan dengan agressif, terbukti dengan banyaknya bangsa Eropa berdatangan ke Nusantara seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda. Bahkan negara-negara tersebut sempat menjajah bangsa kita selama berabad-abad secara bergulir. Selain ke Nusantara mereka juga melakukan ekspansi yang besar-besaran ke negara lain terutama di wilayah benua Asia. Hampir semua negara di kawasan Asia Tenggara pernah dijajah oleh bangsa-bangsa barat.

Dalam perkembangannya anthropology dibagi dalam empat fase. Fase pertama ditandai dengan penjelajahan dan pelayaran bangsa Eropa mendatangi suku-suku bangsa di Asia, Afrika dan Amerika. Pada fase inilah (sebelum abad 18) lahirnya Ethnography sebagai bahan pengetahuan walaupun sifatnya masih kabur. Fase kedua (pertengahan abad 19) ethnography mampu menjelaskan suku-suku bangsa dengan berlandaskan pemikiran sehingga deskripsinya sudah tidak kabur dan bertambah jelas. Pada fase ini pula munculnya Anthropology. Fase ketiga (awal abad 20) Anthropologi dikenal sebagai ilmu yang paraktis yang bertujuan mempelajari masyarakat modern dan suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan kolonialisme. Kemudian fase yang ke empat Anthropology memiliki dua tujuan pokok yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktis. Tujuan akademikal yaitu mempelajari manusia dalam anekawarna bentuk fisik, masyarakat, dan kebudayaan. Sementara tujuan praktisnya adalah untuk mempelajari manusia dalam anekawarna, masyarakat, suku bangsa untuk menyatukan suku bangsa tersebut dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Stereotype Etnis Yang Cenderung Negatif
Ada banyak perbedaan antara filsafat-filsafat barat dan timur. Contoh saja filsafat bangsa Indonesia, dalam perjalan historic, bangsa Indonesia tidak mempunyai misi-misi ekspansi seperti gospel, gold, glory bangsa barat waktu imperalisme kuno atau vini, vidi, vici-nya bangsa perancis. Kejayaan bangsa kita tidak meletakkan kekuasaan sebagai misi utama namun lebih pada bagaimana menyatukan kepulauan-kepulauan yang terpisah itu untuk membentuk Nusantara. Pada zaman Majapahit dan Sriwijaya misalnya, kedua kerajaan ini sama sekali tidak menjajah bangsa-bangsa lain namun lebih pada bagaimana menyatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Nusantara. Naluri ekspansi kita yang rendah inilah yang justru mudah di masuki arus bangsa-bangsa barat.

Ketika berbicara tentang orang timur, maka akan diidentikan dengan suku bangsa yang tidak modern, bodoh, miskin, terbelakang dan berpola pikir irrasional karena kepercayaan mereka dengan mistik sangat kuat. Begitu juga ketika berbicara tentang orang dayak maka deskripsinya adalah suku pedalaman, tanpa pakaian, masih buta huruf dan hidupnya masih bergantung dengan alam. Atau dengan suku bugis atau madura, diidentikan dengan suku yang berwatak keras, tidak mau mengalah walaupun diposisi salah. Padahal kenyataannya tidak seperti itu, suku-sukuu bangsa tersebut memiliki peradabanya sendiri-sendir yang mana nilai-nialai sosial dan kemanusian sangat tinggi. Konsep-konsep negatif yang tidak membangun itulah yang malah populer di masyarakat kita, sampai-sampai ada seorang bapak yang melarang anaknya berhubungan dengan suku tertentu.

Sebaliknya ketika membincangkan orang barat, maka gambaran yang akan muncul di benak kita adalah suku berkulit putih, hidup modern, maju, kaya, pintar, dll, intinya semua yang baik akan di asumsikan kesitu. Pola-pola semacam ini sangat sulit dihindarkan dari pandangan masyarakat umum, seolah-olah sudah mendarah daging. Karena stereotype negatif ini, filsafat-filsafat lokal dari masing-masing suku yang masih relevan dengan konteks kondisi hari ini tertutupi. Sehingga publik lebih melihat pada segi negatifnya bukan pada positifnya. Misalnya berbincang suku bugis, dari segi positifnya mereka adalah komunity yang giat dan gigih bekerja, semangat mereka berdagang sangat tinggi. Namun publik lebih suka mengobral kekurangannya, justru persoalan-persoalan pandangan public inilah yang memicu mencuaknya konflik. Dan tugas kita bersama sebagai bangsa yang memahami pluralisme membendung arus konflik dengan gerakan-gerakan kebangsaan yang lebih mementingkan kepentingan society bukan etnis atau agama tertentu.

Politisasi Etnis dan Agama
Walaubagaimanapun perbedaan itu tidak bisa dihindari. Nusantara terbentuk karena kesepakan komunititas-komunitas yang berbeda, wilayah, suku, budaya, agama dan keyakinan yang berbeda pula. Semangat kebangsaan untuk membangun konstruk sosial dan budaya yang melandasi kesamaan persepsi dan prinsip beragam etnis dan umat beragama itu. Namun realita yang ada menunjukkan masing-masing etnis mengedepankan ego mereka. Ego menguasai birokrasi, ingin dipandang besar dan berjaya yang melalaikan semangat kebangsaan. Fenomena ini muncul bukan tanpa alasan tapi karena ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah selama ini yang mendiskriminasikan suku tertentu. Semua suku merasa sama-sama tidak diperhatikan, ditindas dan dirugikan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Kemudian kondisi itu dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh politik guna menyukseskan misi partai mereka. Ketika momen pilgub atau pilkada maka bendera-bendera kesukuan muncul bertebaran membanjiri lapangan waktu kampanye. Mobilisasi etnis dikerahkan dan para calon membuat yel-yel dengan bahasa kesukuan pula. Sesungguhnya apa yang terjadi ini malah menambah benih-benih krisis Nasionalisme. Penyakit yang membutuhkan terapi panjang untuk penyembuhannya.

Kemudian banyaknya partai-partai politik baru berlabel agama yang terbentuk pasca Orde Baru tidak betul-betul menegakkan syariat mereka. Penulis meyakini bahwa semua ajaran agama ketika diamalkan bertujuan untuk menciptakan perdamain hidup manusia bukan sumber malapetaka dan bencana. Namun kenyataan menunjukkan pada bangsa ini, bahwa para elite politik yang sekaligus umat beragama belum mampu menterjemahkan nilai-nilai ajaran agama mereka. Logo agama yang disandang partai-partai politik sama sekali tidak merealisasikan nilai ajaran agama, buktinya banyak anggota DPR dari parpol yang berlabel agama terbukti korup. Agama seharusnya tidak dipolitisir untuk mendapatkan simpati masyarakat dengan misi keagamaan tertentu. Bisa dikata bahwa pemetaan kwantitas konstelasi agama ada mayoritas dan minoritas. Bukan berarti elite-elite politik itu harus menggiring umat agamanya masing-masing untuk menyukseskan misi-misi politik partai mereka belaka. Dan ketika sudah jadi, persoalan-persoalan sosial, kemanusian, kelaparan, kemiskinan dan kebodohan yang pernah di ulu-ulukan waktu kampanye akan diabaikan. Sulit memang, hari ini masyarakat mempercayai mereka. Dan semoga saja para pemimpin bangsa ini kedepannya lebih serus memperhatikan persoalan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tulis pesan anda di sini