Oleh : M. Taufik Bill Fagih*
Persolan-persoalan yang cukup rumit agar dapat dileraikan diperlukan sosok pemimpin yang mempunyai Power Skil. Hampir bisa dipastikan kehadiran pemimpin yang mempunyai kepiawaian lebih, dalam mengatur organisasi yang saat ini sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan dan kompetisi yang sengit, dibutuhkan sikap dan perilaku pemimpin yang mempunyai kualitas unggul dalam mengembangkan manajemen negara/ organisasi, dan juga harus mampu memperlihatkan ide-ide cemerlangnya serta membawa konsep Inovasi dan Kreativitas baru bagi negara/organisasinya itu sendiri.
Untuk itu ada tiga unsur yang harus ditanamkan bagi roda kepemimpinan sebuah organisasi. Pertama profesionalitas. Sebagai Kholifah Fiil Ardi yang dititipi amanah dituntut untuk berperan activ sekaligus melahirkan tongkat estapet professional dalam melakukan kerja-kerja kongkrit tentunya. Tidak bisa dipunkiri sedikit banyaknya manusia harus belajar dari sejarah kehidupannya. Dengan demikian karakter professional akan membentuk pemimpin yang loyal.
Kedua, proporsional. Dalam management, kepemimpinan harus ditempati oleh mereka yang memiliki skill memimpin sesuai dengan profesinya masing-masing. Oleh karena itu, pemimpin dituntut agar dapat memberikan posisi yang spesifik bagi anggota-anggotanya. Dan akhirnya job discription masing-masing personel akan terrealisasikan dengan baik. Adapun yang ketiga, dalam rangka mencapai sebuah kepemimpinan yang professional dan proporsional, maka yang harus ditekankan adanya niat yang sungguh-sungguh dari setiap pemimpin.. Arah gerakan, orientasi dan tujuan organisasi sangat berpengaruh dengan niat para pengurusnya. Sejauh mana mereka akan membawa organisasi sesuai dengan visi dan misinya.
Dalam rangka mengembangkan serta melatih jiwa kepemimpinan di atas, mahasiswa membutuhkan media yang sekiranya dapat mengakomodir. Dan media yang tepat tentu adalah organisasi kepemudaan (OKP). Melalui OKP terjadi pelatihan dasar kepemimpinan dalam proses kaderisasi. Oleh karenanya OKP dianggap wadah yang representative untuk melatih dari tingkat dasar kepemimpinan bagi mahasiswa yang akan diterapkan kepada masyarakat pada tataran realitas.
Mahasiswa notabenenya dikatakan sebagai agen of change and control – seperti yang pernah diperjuangkan oleh mereka sang “penghancur” rezim otoriter kala itu. Namun, hari ini dapat dikatakan bahwa mahasiswa mengalami stagnasi pergerakannya. Dan ini merupakan sebuah perubahan orientasi yang cukup besar. Hal ini tidak luput dari disfungsi peran organisasi kepemudaan. Sebab, OKP merupakan sarana penempaan pendidikan kepemimpinan mahasiswa yang memberikan andil penting bagi proses kepemimpinan elit bangsa.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan bagian dari OKP yang berkompeten dalam rangka mencetak kadernya untuk berjiwa kepemimpinan kritis tranformatif. Apalagi dengan menjadikan motonya (zikir, fikr dan amal shaleh) sebagai trilogy gerakan perubahan.
Sama halnya dengan konsep teologi (tauhid) gerakan PMII yang membawa kadernya untuk secara optimal dapat melahirkan kontruksi masyarakat ideal dan dijamin oleh nilai-nilai ke-ilahian tanpa kekerasan. Indikasinya adalah ketika Aswaja dijadikan manhaj alfikr yang mampu menggagas kembali tentang peranan manusia di muka bumi, baik terhadap Tuhan, sesamanya dan alam semesta (NDP). Bagi PMII, dari sudut pandang teologi, manusia diletakkan sebagai subyek utama yang mewakili tugas-tugas ketuhanan di bumi yang berjalan dan berproses hidup dalam sumbu poros keilahian. Sebab manusia memiliki kemerdekaan dan kekuatan untuk menentukan nasib dirinya berdasarkan amanah Tuhan. Tugas kepemimpinan (khalifah) ini harus terus bergejolak dengan segala dinamikanya (istiqomah) hingga titik darah penghabisan. Dengan kata lain, teologi PMII menjadikan kaderrnya untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan (HAM, demokrasi, tasamuh, tawasuth dan tawazun).
Seperti yang pernah diungkap Nusron Wahid, PMII sebagai organisasi mahasiswa yang konsen terhadap perjuangan menegakkan demokrasi tidak memiliki pilihan lain, kecuali menyelamatkan demokratisasi secara sistemik dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pilihan untuk menyelamatkan perjuangan demokrasi, berarti harus berjuang secara utuh dan bersama-sama untuk menyelamatkan transisi demokrasi, karena itu PMII sebagai komponen pemuda mencari solusi dalam kepemimpinan republik ini, mencari dan mengawal format kepemimpinan yang demokratis. Jika konstruk pemikiran demikian, maka kader PMII merupakan solusi yang tepat bagi posisi strategis di sebuah negara/ organisasi.
PMII organisasi Revolusioner
Di sinilah subtansi PMII jika akan melahirkan kader berjiwa kepemimpinan yang “kaffah”. Cirri dinamisitas dengan penuh dialektis, historis dan memiliki kemampuan intelektual kritis terhadap realitas serta dengan tegas berpihak secara praktis, merupakan tolok ukur bahwa PMII adalah OKP yang dapat melahirkan pemimpin berjiwa revolusioner. Indikasinya adalah ketika kita menukik kelahiran PMII itu sendiri bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan organisasi yang dibesarkan dari barisan kaum tertindas dan terpinggirkan, yang mencoba untuk bangkit demi tercapainya cita-cita bersama, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbicara PMII bukanlah berbicara para elit, tetapi berbicara tentang rakyat jelata yang hingga saat ini masih terdiskriminasi oleh sistem yang korup, diskriminatif, dan elitis, seakan bangsa ini bangsa yang telah maju dan Merdeka (demikian salah satu perspekstif beberapa sahabat).
Dengan demikian konsekuensinya adalah apapun yang terjadi PMII selalu mengedepankan perubahan dalam rangka menuju suatu kemaslahatan bagi kadernya. Termasuk dialektika secara internal. Jika yang terjadi adalah sebuah ketimpangan, kesenjangan serta kemunduran dalam bergerak, maka tidak menutup kemungkinan kader-kader yang berjiwa revolusioner akan melakukan gerakan-gerakan independent dan progresif (kritis transformatif). Dalam rangka melawan dan merombak kemapanan system, kader PMII dituntut untuk melakukan sikap konfrontatif praksis. Frem berpikir dangan nilai-nilai kepemimpinan revolusioner akan terus mengalami proses perjalanannya. Jika tidak, maka PMII-pun akan terjebak pada stagnasi berjuang.
Dengan menyadari hal di atas, kader PMII sangat berpeluang untuk duduk di posisi strategis baik secara eks-maupun internal organisasi. Sudah saatnya kader PMII membumikan nilai-nilai revolusioner. Meski harus lepas secara structural dengan instansi sekitarnya.
PMII lahir karena melihat ketimpangan. PMII “berpisah” dengan NU karena menjaga independensi gerakannya. Demikianlah kader-kader PMII, harus hijrah dari ketidakadilan, keterpurukan serta dapat memberikan solusi kongkrit bagi bangsa, negara dan masyarakat serta untuk organisasinya. Melalui PMII generasi baru yang berdarah biru akan siap membangkitkan gairah perubahan…
Untuk itu ada tiga unsur yang harus ditanamkan bagi roda kepemimpinan sebuah organisasi. Pertama profesionalitas. Sebagai Kholifah Fiil Ardi yang dititipi amanah dituntut untuk berperan activ sekaligus melahirkan tongkat estapet professional dalam melakukan kerja-kerja kongkrit tentunya. Tidak bisa dipunkiri sedikit banyaknya manusia harus belajar dari sejarah kehidupannya. Dengan demikian karakter professional akan membentuk pemimpin yang loyal.
Kedua, proporsional. Dalam management, kepemimpinan harus ditempati oleh mereka yang memiliki skill memimpin sesuai dengan profesinya masing-masing. Oleh karena itu, pemimpin dituntut agar dapat memberikan posisi yang spesifik bagi anggota-anggotanya. Dan akhirnya job discription masing-masing personel akan terrealisasikan dengan baik. Adapun yang ketiga, dalam rangka mencapai sebuah kepemimpinan yang professional dan proporsional, maka yang harus ditekankan adanya niat yang sungguh-sungguh dari setiap pemimpin.. Arah gerakan, orientasi dan tujuan organisasi sangat berpengaruh dengan niat para pengurusnya. Sejauh mana mereka akan membawa organisasi sesuai dengan visi dan misinya.
Dalam rangka mengembangkan serta melatih jiwa kepemimpinan di atas, mahasiswa membutuhkan media yang sekiranya dapat mengakomodir. Dan media yang tepat tentu adalah organisasi kepemudaan (OKP). Melalui OKP terjadi pelatihan dasar kepemimpinan dalam proses kaderisasi. Oleh karenanya OKP dianggap wadah yang representative untuk melatih dari tingkat dasar kepemimpinan bagi mahasiswa yang akan diterapkan kepada masyarakat pada tataran realitas.
Mahasiswa notabenenya dikatakan sebagai agen of change and control – seperti yang pernah diperjuangkan oleh mereka sang “penghancur” rezim otoriter kala itu. Namun, hari ini dapat dikatakan bahwa mahasiswa mengalami stagnasi pergerakannya. Dan ini merupakan sebuah perubahan orientasi yang cukup besar. Hal ini tidak luput dari disfungsi peran organisasi kepemudaan. Sebab, OKP merupakan sarana penempaan pendidikan kepemimpinan mahasiswa yang memberikan andil penting bagi proses kepemimpinan elit bangsa.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan bagian dari OKP yang berkompeten dalam rangka mencetak kadernya untuk berjiwa kepemimpinan kritis tranformatif. Apalagi dengan menjadikan motonya (zikir, fikr dan amal shaleh) sebagai trilogy gerakan perubahan.
Sama halnya dengan konsep teologi (tauhid) gerakan PMII yang membawa kadernya untuk secara optimal dapat melahirkan kontruksi masyarakat ideal dan dijamin oleh nilai-nilai ke-ilahian tanpa kekerasan. Indikasinya adalah ketika Aswaja dijadikan manhaj alfikr yang mampu menggagas kembali tentang peranan manusia di muka bumi, baik terhadap Tuhan, sesamanya dan alam semesta (NDP). Bagi PMII, dari sudut pandang teologi, manusia diletakkan sebagai subyek utama yang mewakili tugas-tugas ketuhanan di bumi yang berjalan dan berproses hidup dalam sumbu poros keilahian. Sebab manusia memiliki kemerdekaan dan kekuatan untuk menentukan nasib dirinya berdasarkan amanah Tuhan. Tugas kepemimpinan (khalifah) ini harus terus bergejolak dengan segala dinamikanya (istiqomah) hingga titik darah penghabisan. Dengan kata lain, teologi PMII menjadikan kaderrnya untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan (HAM, demokrasi, tasamuh, tawasuth dan tawazun).
Seperti yang pernah diungkap Nusron Wahid, PMII sebagai organisasi mahasiswa yang konsen terhadap perjuangan menegakkan demokrasi tidak memiliki pilihan lain, kecuali menyelamatkan demokratisasi secara sistemik dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pilihan untuk menyelamatkan perjuangan demokrasi, berarti harus berjuang secara utuh dan bersama-sama untuk menyelamatkan transisi demokrasi, karena itu PMII sebagai komponen pemuda mencari solusi dalam kepemimpinan republik ini, mencari dan mengawal format kepemimpinan yang demokratis. Jika konstruk pemikiran demikian, maka kader PMII merupakan solusi yang tepat bagi posisi strategis di sebuah negara/ organisasi.
PMII organisasi Revolusioner
Di sinilah subtansi PMII jika akan melahirkan kader berjiwa kepemimpinan yang “kaffah”. Cirri dinamisitas dengan penuh dialektis, historis dan memiliki kemampuan intelektual kritis terhadap realitas serta dengan tegas berpihak secara praktis, merupakan tolok ukur bahwa PMII adalah OKP yang dapat melahirkan pemimpin berjiwa revolusioner. Indikasinya adalah ketika kita menukik kelahiran PMII itu sendiri bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan organisasi yang dibesarkan dari barisan kaum tertindas dan terpinggirkan, yang mencoba untuk bangkit demi tercapainya cita-cita bersama, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbicara PMII bukanlah berbicara para elit, tetapi berbicara tentang rakyat jelata yang hingga saat ini masih terdiskriminasi oleh sistem yang korup, diskriminatif, dan elitis, seakan bangsa ini bangsa yang telah maju dan Merdeka (demikian salah satu perspekstif beberapa sahabat).
Dengan demikian konsekuensinya adalah apapun yang terjadi PMII selalu mengedepankan perubahan dalam rangka menuju suatu kemaslahatan bagi kadernya. Termasuk dialektika secara internal. Jika yang terjadi adalah sebuah ketimpangan, kesenjangan serta kemunduran dalam bergerak, maka tidak menutup kemungkinan kader-kader yang berjiwa revolusioner akan melakukan gerakan-gerakan independent dan progresif (kritis transformatif). Dalam rangka melawan dan merombak kemapanan system, kader PMII dituntut untuk melakukan sikap konfrontatif praksis. Frem berpikir dangan nilai-nilai kepemimpinan revolusioner akan terus mengalami proses perjalanannya. Jika tidak, maka PMII-pun akan terjebak pada stagnasi berjuang.
Dengan menyadari hal di atas, kader PMII sangat berpeluang untuk duduk di posisi strategis baik secara eks-maupun internal organisasi. Sudah saatnya kader PMII membumikan nilai-nilai revolusioner. Meski harus lepas secara structural dengan instansi sekitarnya.
PMII lahir karena melihat ketimpangan. PMII “berpisah” dengan NU karena menjaga independensi gerakannya. Demikianlah kader-kader PMII, harus hijrah dari ketidakadilan, keterpurukan serta dapat memberikan solusi kongkrit bagi bangsa, negara dan masyarakat serta untuk organisasinya. Melalui PMII generasi baru yang berdarah biru akan siap membangkitkan gairah perubahan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tulis pesan anda di sini