Rabu, 09 Juli 2008

PERJUMPAAN DAN PERGULATAN ETNISITAS DAN UMAT BERAGAMA

Oleh: Sujatmiko
PMII METRO Kutai Kartanegara

Semangat kebangsaan yang menjadi salah satu corak gerakan PMII selalu menjadi tema yang hangat untuk diperbincangkan. Organisasi kemahasisaan yang fundamental ini memiliki corak berpikir yang berbeda dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan yang berlabel Islam lainnya. Aswaja sebagai manhaj al fikri (metodologi berpikir) melahirkan gagasan-gagasan yang lebih pada bagaimana menerima keberagaman yang dimiliki bangsa bukan pada penolakan tradisi-tradisi lama masyarakat yang jauh dari ciri-ciri modernisasi. Justru keberagaman tersebutlah yang membuat bangsa ini kokoh dan memiliki nilai jual di mata bangsa lain.

Lalu bagaimana dengan kaca mata masyarakat Indonesia sendiri ?
Sejarah perlawanan rakyat terhadap kolonial telah menunjukkan kebersamaan untuk membangun bangsa ini. Meskipun perlawanan yang dikoordinir oleh tokoh-tokoh masyakat hanya di daerah masing-masing namun perlawanan mereka itu tidak hanya dilandasi oleh semangat primordialis akan tetapi lebih pada kecintaan mereka pada bangsa ini. Keterbatasan peralatan dan perlengkapan yang mereka miliki membatasi perjuangan yang hanya pada tingkat lokal. Artinya, dari zaman kolonial kebersamaan dan keharmonisan bangsa Indonesia sudah terjalin. Namun beberapa dekade terakhir ini bertaburan konflik dimunculkan ditengah-tengah masyarakat yang sedang membangun kondisi negara yang tergeser oleh arus Barat. Etnis dan agama sering kali menjadi titik persoalan yang di tampilkan. Ketika konflik antar etnis ataupun agama muncul, sudah terlihat jelas bahwa keharmonisan dan kebersamaan bangsa semakin pudar. Benturan-benturan antar kelompok etnis dan agama ini terjadi bukan berarti tanpa sebab melainkan ada arus besar yang mencoba menguasai dan mengendalikan haluan kapal-kapal bangsa ini.

Kapal-kapal besar yang dulu (zaman Majapahit) milik kita dengan berani berlayar ke utara dan setibanya di negeri-negeri utara dihormati layaknya raja dan sambil menikmati suguhan yang mereka beri, mengajari mereka tentang nilai-nilai tradisi dan kebudayaan bangsa. Kemudian kita pulang dengan membawa berbagai bentuk keuntungan ekonomi. Tapi hari ini zaman telah berbalik mereka yang menguasai dan mengendalikan kapal besar itu dan pula membawa arus besar ke bangsa kita. Selain membawa misi ekonomi (sebagai bentuk ekspansi kapitalis) mereka juga membawa misi-misi baru, ajaran-ajaran baru, ideologi-ideologi baru yang berbentuk globalisasi, modernisasi dan faham-faham baru lainnya yang justru merusak budaya, etika dan keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Setelah budaya, etika dan keyakinan bangsa ini meredup maka dengan sesuka hati mereka mengatur pola kehidupan kita. Kebijakan-kebijakan sosial, politik maupun ekonomi direkayasa sedemikian rupa sehingga selaras dengan apa yang mereka inginkan. Organisasi-organisasi dunia yang ada di PBB (WTO,IMF) sudah dirancang dan dipersiapkan untuk memuluskan misi ekspansi kapitalisme mereka itu.

Teks modernisme yang diartikan oleh golongan tertentu hanya sebagai alat bagi negara-negara kapitalis untuk menguasai negara orientalnya. Ketika negara tidak dapat ditaklukkan melalui militerisasi maka akan ditindas lewat kebudayaan, moral, pendidikan yang berimbas pada etika sosial generasi mudanya. Sehingga Negara yang berbudaya luhur, yang menjadikan keharmonisan dan kebersamaan masyarakatnya menjadi luntur dan musnah, maka lumpuhlah negara itu baik pada tataran sosial, politik, ekonomi, budaya dan hankamnya. Bangsa kita “Indonesia” mempunyai sejarah yang panjang tentang pluralitas etnis dan agama yang kemudian membentuk alas dengan nama “Nusantara”.

Sebab-Sebab Munculnya Konflik
Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia yang plural ini dibebankan konflik multikulturalisme. Konflik keagamaan dan etnisitas sempat timbul meresahkan kelompok masyarakat secara nasional. Adapun faktor-faktor lain yang mengkondisikan konflik tersebut adalah: Pertama, nilai-nilai persatuan sebagaimana telah diintrodusir dalam Pancasila belum terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat secara baik. Sebaliknya nilai-nilai radikalisme etnis dan agama berkembang pada sebagian masyarakat. Sehingga konflik-konflik ini seringkali berakhir dengan anarkisme. Kedua, terjadinya ketidakadilan distribusi kekuasaan politik. Para politisi baik lokal maupun nasional menggunakan kendaraan etnis dan agama sebagai strategi untuk memperoleh kekuasaan politik. Dan pola ini sudah sangat sarat di arena perpolitikan Indonesia. Meskipun begitu komunikasi politik antar sebagian kelompok etnis maupun agama tidak berjalan dengan baik, masing-masing tertutup, saling mencurigai dan berprasangka buruk. Ketiga, terjadinya kesenjangan ekonomi antar penganut agama maupun etnis yang berbeda. Keempat, terjadinya benturan budaya satu dengan yang lain baik pada wilayah agama mupun etnis. Kelima, kurang profesionalnya aparat keamanan dalam mengantisipasi terjadinya konflik antar-umat beragama dan kelompok etnis. Di samping itu, terlambatnya aparat hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah tindak pidana, tindak kriminal, pada masyarakat yang terlibat dalam konflik. Ketika hal ini tidak dicari jalan tengah sebagai alternatif untuk menyatukan multi-etnis dan agama pada misi kebangsaan maka akan menjadi awal pecahnya nagara kesatuan kita. Untuk itu dalam rangka mewaspadai dan mencegah terjadinya konflik antar-umat beragama dan kelompok etnis diperlukan juga pendekatan kebijaksanaan yang komprehensif dan integral, yakni melalui pendekatan agama, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam pergerakan,

konflik-konflik etnisitas inilah yang malah melemahkan ketahanan negara kita ini. sebuah solusi yang perlu kita pikir ulang adalah meningkatkan solidaritas kita bahwa bangsa ini memang betul-betul mempunya anak yang namanya multikulturalisme. berbeda bukan berarti kita tidak mampu bersatu, dan ketika bersatu itu kitapun menyadari bahawa kita ini berbeda.

Posting Komentar

tulis pesan anda di sini